Ragam Riau–Bupati Kepulauan Meranti, H Muhammad Adil menyampaikan aspirasi terkait Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB), kepada Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) RI, Dr Surya Tjandra. Menurut Bupati, akibat PIPPIB ini, tanah-tanah yang sudah lama digarap dan ditempati tidak bisa disertifikat.
Muhammad Adil memaparkan, bahwa kendala terbesar Pemkab Kepulauan Meranti saat ini adalah proses sertifikasi tanah milik masyarakat, milik pengusaha, maupun milik Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti yang terhenti, akibat adanya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian lzin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Hal tersebut Ia sampaikan langsung kepada Wamen BPN/ATR, Selasa (22/6/2021) pada rapat konsultasi peta indikatif penghentian pemberian izin baru (PIPPIB), membahas, sekaligus memantau moratorium Area Peruntukan Lain (APL) yang masuk dalam PIPPIB) di Kepulauan Meranti.
Lebih lanjut Muhammad Adil mengatakan, jika berpedoman pada Instruksi Presiden tersebut, BPN menghentikan penerbitan hak-hak atas tanah antara lain Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pakai pada areal Penggunaan Lain berdasarkan PIPPIB tadi. Dengan diberlakukannya SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 666 Tahun 2021 menetapkan luas kawasan PIPIB di Meranti sekitar 57,9 persen dari total luas wilayah.
Dari luasan tersebut, Muhammad Adil menjelaskan, diantaranya kawasan APL seluas 27,2 persen. Sementara itu ada 22.2 persen kawasan APL tersebut masuk pula dalam kawasan PIPPIB. Artinya, lahan yang bisa diterbitkan sertifikat tanahnya hanya 4,97 persen.
“Luasan ini sangat kecil dan sangat membatasi ruang gerak masyarakat dan pengusaha dalam berinvestasi serta berusaha. Juga upaya pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pembangunan fasilitas dasar untuk pelayanan publik,” ujar Muhammad Adil.
“Saat ini terdapat 64 kilang sagu, 55 panglong arang dan 220 dapur arang tidak dapat melakukan perpanjangan izin usaha disebabkan oleh tidak dapat diterbitkannya IMB karena lahan yang ditempati masuk kawasan PIPPIB. Hal serupa juga terjadi untuk usaha lainnya, seperti sarang burung walet, perkebunan kopi, dan bahkan rumah dan toko warga,” Muhammad Adil menjelaskan.
Muhammad Adil berharap, pertemuannya bersama Wamen BPN/ATR bisa membawa solusi bagi kepastian hukum atas tanah yang ditempati, juga menjadi solusi atas mandegnya pengurusan izin usaha. “Selama ini, peta PIPPIB itu bagaikan jatuh dari langit. Ujug-ujug keluar peta yang menetapkan lahan rumah, kebun, desa bahkan lahan bangunan pemerintah masuk dalam kawasan moratorium gambut,” ujarnya.
Dijelaskan Adil, dampak kasat matanya mungkin tidak terlihat karena masih bisa tinggal dan menggarap tanah tersebut. Namun, konsekuensi hukum ini menjadi tekanan ekonomi tersendiri kepada masyarakat. Akibat PIPPIB ini kata Muhammad Adil, tanah-tanah yang sudah lama digarap dan ditempati tidak bisa disertifikat. Bahkan banyak tanah yang sudah bersertifikat tidak dapat diagunkan ke bank, tidak dapat diperjual belikan, dan berdampak pada mandeg-nya perizinan usaha di atas tanah tersebut termasuk IMB.
“Kita sama-sama tidak ingin, masyarakat kita ini tergerus nasionalismenya karena tidak diakui haknya di negara sendiri. Jangan sampai muncul istilah ‘Garuda di dada tapi ringgit di hati’ karena mereka Iebih bergantung penghidupannya dengan bekerja di negeri jiran sementara tanah yang ditempati dari nenek-moyang dulu tiba-tiba tidak diakui legalitasnya,” ungkapnya.
Dibeberkan Adil, usaha-usaha tersebut tidak dapat mengakses pinjaman modal ke perbankan karena tidak memiliki kepastian hukum terhadap status lahan dan izin usaha yang dimiliki. Kondisi ini berdampak negatif bagi PAD sehingga membuat APBD defisit. PIPPIB ini juga mematikan industri dan mematahkan minat investasi. Tentu ini memperparah tingkat kemiskinan tersebut di masa pandemi COVID-19 ini. Padahal angka 25.28 persen kemiskinan di Meranti ini sudah merupakan yang tertinggi di Riau menurut data BPS.
Kemudian kata Adil lagi, pada aspek lain, saat ini Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti memiliki 1.310 persil tanah. Berdasarkan verifikasi Kantor Pertanahan terhadap 413 persil tanah bukan jalan milik Pemerintah daerah diketahui hanya 29 persil yang bebas kawasan PIPPIB. Sementara, 149 persil tanah termasuk dalam kawasan PIPPIB. Maknanya, ada tanah pemerintah, bahkan yang diatasnya berdiri bangunan milik pemerintah tidak dapat disertifikasi karena tiba-tiba masuk dalam PIPPIB.
“Padahal kami menargetkan pada tahun 2022 seluruh tanah milik Pemerintah sudah bersertifikat. Ini sesuai arahan KPK. Jadi, keberadaan PIPPIB ini sangat kontra produktif dengan kebijakan pemerintah lainnya,” paparnya
Ia mengharapkan Kabupaten Kepulauan Meranti mendapat perhatian khusus dalam perubahan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang PIPPIB ini selanjutnya. Mengingat PIPPIB dapat direvisi dua kali dalam setahun, perlu dilakukan perubahan agar iklim investasi untuk peningkatan PAD, PDRB, pembangunan fisik, dan pengelolaan aset Pemerintah dapat diwujudkan. Selain itu dapat mendorong ekonomi masyarakat berkembang terutama sektor perkebunan.
Kemudian kata Adil, saat ini ada beberapa desa yang seluruh wilayahnya masuk dalam PIPPIB. Seperti Desa Kedabu Rapat di Kecamatan Rangsang Pesisir. Padahal desa ini salah satu sentra kopi terbaik di Indonesia, yakni Kopi Liberika. Ia juga tidak ingin peraturan yang dibuat pemerintah malah membuat rakyat menderita. lni tentu bertentangan dengan tujuan negara melindungi dan mensejahterakan seluruh rakyatnya sebagaimana Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam kesempatan itu juga ditayangkan bahwa luas daratan Kepulauan Meranti sekitar 362.709 hektar. Disini luas kawasan peruntukan lindung sekitar 3.6 persen dan kawasan peruntukan budidaya sekitar 96,4 persen. Sedangkan luas kawasan hutan di Kabupaten Kepulauan Meranti tercatat sekitar 72.8 persen atau 264.176 hektar.
Sementara itu, Wamen ATR/BPN RI, Dr Surya Tjandra menjelaskan, bahwa kehadirannya di Kepulauan Meranti untuk menghimpun data dan masukan dari daerah terkait persoalan tanah yang ada di daerah. “Dari total luas tanah itu yang bisa APL, Area Pemanfaatan Lain tapi bisa dibangun 29 persen, sepertiga dari luas total wilayah Kepulauan Meranti,” ungkapnya.
Dijelaskannya, dari sepertiga luas tanah APL tersebut masuk dalam kawasan PIPPIB yang juga diartikan sebagai kawasan hutan. Walaupun kenyataannya sebagian besarnya juga diketahui tidak lagi merupakan hutan dan bahkan sudah dibangun.
Terkait hal tersebut, Surya mengatakan akan berkoordinasi dengan kementrian terkait untuk jalan keluar. Ia menjelaskan setiap kantor BPN yang ada di daerah akan menyiapkan data-data untuk disampaikan ke Kementrian terkait didukung para kepala daerah dan para legislator.
“Saya sedang mendata mendengarkan masukan, dimana 96 persen Kepulauan Meranti masuk kedalam area PIPPIB artinya kawasan hutan, padahal sudah bukan kawasan hutan. Kami coba berkoordinasi karena ini kan menyangkut soal kebijakan, jadi kami kementerian BPN/ATR bertanggungjawab untuk program statistik nasional reforma agraria salah satunya adalah untuk mengatasi ketimpangan akses pada tanah,” katanya.
Ia mengatakan lagi, untuk menyelesaikan permasalahan ini perlu kerjasama dan sinergi mulai kementrian di pusat hingga pemerintah daerah. Dia juga menjelaskan tantangan dari persoalan PIPPIB adalah kewenangannya yang berada di Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). “Dan ini tinggal dikomunikasikan saja, kita sudah menyiapkan data, harapannya dalam setahun ini akan kita bereskan semua,” pungkasnya.
Turut hadir pada rapat konsultasi tersebut dihadiri langsung Gubernur Riau, Syamsuar, Wakil Ketua Komite l DPD RI, Fernando, Ketua Badan Informasi Geopasial, M Arif Marfai, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Ma’mun Murod, Kepala BPKH, Sofyan, Kakanwil BPN Riau, Syahril beserta seluruh kepala BPN kabupaten dan kota. Hadir juga anggota DPD RI Dapil Riau Dr Hj. Intsiawati Ayus yang memoderatori acara tersebut.